Yang dimaksud dengan budaya hukum
adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap
nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan
tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang
menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum
yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Diketahuinya
budaya hukum masyarakat setempat merupakan bahan informasi yang
penting, artinya untuk lebih mengenal susunan masyarakat setempat,
sistem hukum, konsepsi hukum, norma-norma hukum dan perilaku manusia.
Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi melainkan budaya menyeluruh
dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh
karenanya dalam membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan
masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum
tersebut. Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat
penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia
menunjukkan sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa
hukum yang terbawa ke dalam masyarakat (Hadikusuma, 1986).
Tipe budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu:
(1) Budaya parokial (parochial culture)
® Pada
masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya
masih terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam
lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi
hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah digariskan leluhur
merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang berperilaku
menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki
ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat
egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika
sifat pemimpinnya altruis maka warga masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus intervares,
yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang
sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan
membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih
baik dari hukum orang lain (Kantaprawira, 1983).
(2) Budaya subjek (subject culture)
®
Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota
masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum
terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari
masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan
pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas
dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa.
Orientasi pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru sudah ada,
sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun
cara
pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih
tersembunyi. Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini,
menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah
sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan
bertentangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya
(Kartaprawira, 1983).
(3) Budaya partisipant (participant culture)
®Pada
masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan
berperilaku anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya
takluk, namun sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan
serta karena ia merasa sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum.
Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari
kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai
setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan
hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga
dan dirinya sendiri. Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan
pengalaman anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan organisasi,
baik yang susunannya berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan
dengan daerah lain dan dari atas ke bawah (Kantaprawira, 1983).
Budaya
hukum, sebagaimana diuraikan, hanya merupakan sebagian dari sikap dan
perilaku yang mempengaruhi sistem dan konsepsi hukum dalam masyarakat
setempat. Masih ada faktor-faktor lain yang juga tidak kecil pengaruhnya
terhadap budaya hukum seperti system dan susunan kemasyarakatan,
kekerabatan, keagamaan, ekonomi dan politik, lingkungan hidup dan cara
kehidupan, disamping sifat watak pribadi seseorang yang kesemuanya
saling bertautan (Hadikusuma, 1986).
2. Yang dimaksud dengan seni hukum
adalah ungkapan budaya hukum yang bersifat seni yang penjelmaannya
dalam bentuk seni kata, seperti perlambang benda atau pepatah dan
pribahasa (Hadikusuma, 1986).
Seni
hukum selalu ada pada setiap tingkat msyarakat, karena tidak ada
pergaulan manusia tanpa hukum, hukum terdapat pada masyarakat sederhana
dan masyarakat beradab, baik dalam masyarakat barat maupun masyarakat
timur.
Contoh:
a. Traffic Lights (lampu lalu lintas)
Lampu
lalu lintas terdiri atas warna merah yang memiliki arti berhenti,
ketika lampu merah menyala maka semua kendaraan tidak boleh melintas. Kemudian
warna hijau yang memiliki arti maju, ketika lampu hijau menyala maka
semua kendaraan diperbolehkan untuk maju, dan kemudian lampu bewarna
kuning yang menandakan hati-hati, bisa juga sebagai pertanda siap-siap,
biasanya setelah lampu hijau menyala maka akan menyala lampu warna
kuning terlebih dahulu sebagai pertanda akan menyalanya lampu warna merah. Lampu
lalu lintas ini merupakan sebi hukum, ketika peraturan dikemas dengan
berbentuk symbol yang symbol tersebut di ketahui oleh masyarakat dan
masyarakat mematuhinya, jika dilanggar maka akan ada konsekuensinya.
b. Semboyan “orang bijak taat pajak”, dimana hukum dikemas dengan seni berupa semboyan. Kata
tersebut menyampaikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang membayar
pajak adalah orang-orang bijak, jika masyarakat yang tidak taat pajak
maka bukan golongan tersebut. Semboyan tersebut
memberikan makna akan kepatuhan diri terhadap Negara, dan hukuman yang
diberikan berupa pertentangan batin atas kesadaran diri masyarakat.
3. System
hukum merupakan gabungan kata dari system dan hukum, yang mana system
adalah suatu cara yang mekanismenya mempunyai pola yang tetap dan
bersifat otomatis. Jadi suatu system berarti
suatu pertautan kegiatan yang mekanismenya tetap dengan unsure-unsurnya,
dimana yang satu dan yang lain berfungsi tidak menyimpang dari
porosnya.
Jadi
yang dimaksud system hukum adalah suatu cara yang mekanismenya berpola
pada hukum ideal yang tetap, dalam ruang lingkup yang terbatas pada
masyarakat daerah (desa) tertentu (hadikusuma).
Untuk
komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah
apa yang dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga
Acmad Ali (2003: 7-dst)), yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi
substansi, struktur, dan budaya hukum.
Konsepsi
hukum adalah gejala atau segi-segi tertentu atau merupakan lambang dari
suatu gejala hukum yang tradisional, sebagaimana telah dikemukakan
bercorak keagamaan, kebersamaan (komunal), serba kongkrit dan visual,
tetapi terbuka dan sederhana.
Konsepsi
hukum yang bercorak keagamaan adalah prilaku masyarakat yang berlatar
belakang pada adnaya TYME, masih percaya kepada kekuatan ghaib, adanya
roh-roh leluhur yang selalu memperhatikan prilaku anak cucu yang masih hidup.
Konsepsi
hukum yang bercorak kebersamaan (komunal) terlihat dari masyarakat yang
berlatar belakang pola ideal tradisional, yaitu asas kekeluargaan
tolong-menolong, dimana kehidupan manusia itu bersifat altruis yang
tidak semata-mata mementingkan diri sendiri tetapi juga mementingkan
kepentingan orang lain.
Konsepsi
hukum yang bercorak konkret dan visual terlihat dari lembaga dan
perilaku warga masyarakat yang sederhana, yang menginginkan apa yang
yang dihadapi berlaku dengan terang dan tunai tidak tersembunyi.
Konsepsi hukum yang bersifat terbuka dan sederhana terlihat dari lembaga dan kenyataan prilaku warga masyarakat. Terbuka
artinya hukum dapat menyesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, tidak
tertutup kemungkinan untuk menerima perubahan karena pengaruh dari
luar, asal saja tidak bertentangan dengan hal-hal yang asasi.
No comments:
Post a Comment